Tipe -Tipe Budaya Politik


1.       Budaya Politik Parokial
Budaya politik ini terbatas pada satu wilayah atau lingkup yang kecil. Dalam budaya politik parokial, orientasi politik warga terhadap keseluruhan objek politik dapat dikatakan rendah alasannya anggota masyarakat cenderung tidak menaruh minat terhadap objek-objek politik yang luas, kecuali dalam batas tertentu di tempat mereka tinggal.
Ciri-ciri budaya politik parokial ialah sebagai berikut.
a.       Budaya politik ini berlangsung dalam masyarakat yang masih tradisional dan sederhana.
b.      Belum terlihat peran-peran politik yang khusus; tugas politik dilakukan serempak bersamaan dengan tugas ekonomi, keagamaan, dan lain-lain.
c.       Kesadaran anggota masyarakat akan adanya sentra kewenangan atau kekuasaan dalam masyarakatnya cenderung rendah.
d.      Warga cenderung tidak menaruh minat terhadap objek-objek politik yang luas, kecuali yang ada di sekitarnya.
e.      Warga tidak banyak berharap atau tidak memiliki harapan-harapan tertentu dari sistem politik tempat ia berada.
 
2.       Budaya Politik Subjek
Menurut Mochtar Masoed dan Colin Mac Andrews (2000), budaya politik subjek menunjuk pada orang-orang yang secara pasif patuh pada pejabat-pejabat pemerintahan dan undang-undang, tetapi tidak melibatkan diri dalam politik ataupun menunjukkan bunyi dalam pemilihan.
Ciri-ciri budaya politik subjek ialah sebagai berikut.
a.       Warga menyadari sepenuhnya akan otoritasi pemerintah.
b.      Tidak banyak warga yang memberi masukan dan tuntutan kepada pemerintah, tetapi mereka cukup puas untuk mendapatkan apa yang berasal dari pemerintah.
c.       Warga bersikap mendapatkan saja putusan yang dianggapnya sebagai sesuatu yang tidak boleh dikoreksi, apalagi ditentang.
d.      Sikap warga sebagai bintang film politik ialah pasif; artinya warga tidak bisa berbuat banyak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik.
e.      Warga menaruh kesadaran, minat, dan perhatian terhadap sistem politik pada umumnya dan terutama terhadap objek politik output, sedangkan kesa- darannya terhadap input dan kesadarannya sebagai bintang film politik masih rendah.
 
3.       Budaya Politik Partisipan
Menurut pendapat Almond dan Verba (1966), budaya politik partisipan ialah suatu bentuk budaya yang berprinsip bahwa anggota masyarakat diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem sebagai keseluruhan dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif. Dalam budaya politik partisipan, orientasi politik warga terhadap keseluruhan objek politik, baik umum, input dan output, maupun pribadinya dapat dikatakan tinggi.
Ciri-ciri dari budaya politik partisipan ialah sebagai berikut.
a.       Warga menyadari akan hak dan tanggung jawabnya dan bisa memper- gunakan hak itu serta menanggung kewajibannya.
b.      Warga tidak mendapatkan begitu saja keadaan, tunduk pada keadaan, berdisiplin tetapi dapat menilai dengan penuh kesadaran semua objek politik, baik keseluruhan, input, output maupun posisi dirinya sendiri.
c.       Anggota masyarakat sangat partisipatif terhadap semua objek politik, baik mendapatkan maupun menolak suatu objek politik.
d.      Masyarakat menyadari bahwa ia ialah warga negara yang aktif dan berperan sebagai aktivis.
e.      Kehidupan politik dianggap sebagai sarana transaksi, menyerupai halnya penjual dan pembeli. Warga dapat mendapatkan berdasarkan kesadaran, tetapi juga bisa menolak berdasarkan penilaiannya sendiri.
Bagaimana dengan budaya politik di Indonesia? Ada beragam pandangan mengenai budaya politik Indonesia. Keragaman pendapat ini dimungkinkan alasannya problem budaya politik itu dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Rusadi Kartaprawira dalam bukunya Sistem Politik di Indonesia menyatakan adanya beberapa ciri dari budaya politik Indonesia, antara lain ialah sebagai berikut.
a.       Sifat ikatan primordial masih berpengaruh yang dikenali melalui indikator yang berupa sentimen kedaerahan, kesukuan, dan keagamaan.
b.      Budaya politik Indonesia bersifat parokial subjek di satu pihak dan partisipasi di lain pihak.
c.       Ada subbudaya yang banyak dan beraneka ragam. Hal ini terjadi alasannya Indonesia memiliki banyak suku yang masing-masing memiliki budaya sendiri-sendiri.
d.      Kecenderungan budaya politik Indonesia masih mengukuhi sifat paternalisme dan sifat patrimonial. Sebagai indikator, misalnya ialah perilaku menyenangkan atasan.
Affan Gaffar (1999) dalam bukunya Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi mengatakan bahwa budaya politik Indonesia memiliki tiga ciri mayoritas yaitu sebagai berikut.
1.       Hierarki yang tegas
Sebagian besar masyarakat Indonesia bersifat hierarkis yang menunjukkan adanya pembedaan atau tingkatan atas dan bawah. Stratifikasi sosial yang hierarkis ini tampak dari adanya pemilahan tegas antara penguasa dan rakyat kebanyakan. Masing-masing terpisah melalui tatanan hierarkis yang sangat ketat. Dalam kehidupan politik, pengaruh stratifikasi sosial semacam itu antara lain tercermin pada cara penguasa memandang dirinya dan rakyatnya. Mereka cenderung merendahkan rakyatnya. Karena penguasa sangat baik, pemurah, dan pelindung, sudah seharusnya rakyat patuh, tunduk, setia, dan taat kepada penguasa negara. Bentuk negatif lainnya dapat dilihat dalam soal kebijakan publik. Penguasa membentuk semua agenda publik, termasuk merumuskan kebijakan publik, sedangkan rakyat cenderung disisihkan dari proses politik. Rakyat tidak diajak berdialog dan kurang didengar aspirasinya.
2.       Kecenderungan patronage
Kecenderungan patronage, ialah kecenderungan pembentukan teladan korelasi patronage, baik di kalangan penguasa dan masyarakat maupun teladan korelasi patron-client. Pola korelasi ini bersifat individual. Antara dua individu, yaitu patron dan client, terjadi interaksi timbal balik dengan mempertukarkan sumber daya yang dimiliki masing-masing. Patron memiliki sumber daya berupa kekuasaan, kedudukan atau jabatan, perlindungan, perhatian dan kasih sayang, bahkan materi. Kemudian, client memiliki sumber daya berupa dukungan, tenaga, dan kesetiaan. Menurut Yahya Muhaimin, dalam sistem bapakisme (hubungan bapak-anak), ”bapak” (patron) dipandang sebagai rujukan dan sumber pemenuhan kebutuhan material dan bahkan spiritual serta pelepasan kebutuhan emosional ”anak” (client). Sebaliknya, para anak buah dijadikan tulang punggung bapak.
3.       Kecenderungan Neo-patrimonialistik
Dikatakan neo-patrimonalistik alasannya negara memiliki atribut atau kelengkapan yang sudah modern dan rasional, tetapi juga masih memperhatikan atribut yang patrimonial. Negara masih dianggap milik pribadi atau kelompok pribadi sehingga diperlakukan layaknya sebuah keluarga. Menurut Max Weber, dalam negara yang patrimonalistik penyelenggaraan pemerintah berada di bawah kontrol pribadi pimpinan negara. Adapun menurut Affan  Gaffar, negara patrimonalistik memiliki sejumlah karakteristik sebagai berikut.
a.       Penguasa politik seringkali mengaburkan antara kepentingan umum dan kepentingan publik.
b.      Rule of law lebih bersifat sekunder apabila dibandingkan dengan kekuasaan penguasa.
c.       Kebijakan seringkali bersifat partikularistik daripada bersifat universalistik.
d.      Kecenderungan untuk mempertukarkan sumber daya yang dimiliki seorang penguasa kepada teman-temannya lebih besar.
Selanjutnya, manakah bersama-sama budaya politik Indonesia? Karena bangsa Indonesia ialah bangsa yang heterogen atas dasar suku, daerah, dan agama maka di Indonesia terdapat banyak subbudaya politik. Bangsa Indonesia ialah bangsa yang berprinsip Bhinneka Tunggal Ika sehingga semua bentuk subbudaya yang ada di Indonesia ialah budaya politik nasional.
Salah satu aspek penting dalam sistem politik ialah budaya politik yang mencerminkan faktor subjektif. Budaya politik mengutamakan segi psikologis dari suatu sistem politik. Demokrasi Pancasila ialah suatu paham demokrasi yang bersumber pada pandangan atau filsafat hidup bangsa Indonesia yang digali dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Demokrasi Pancasila pada hakikatnya ialah sarana atau alat bagi bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan Negara sebagaimana telah dirumuskan di dalam Pembukaan UUD 1945. Budaya Politik Pancasila akan mengarahkan keseluruhan dari pandangan-pandangan politik, menyerupai norma-norma, pola-pola orientasi menyerupai politik dan pandangan hidup pada umumnya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.
Adapun sistem politik Indonesia sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 1 ayat (2) ialah sistem politik demokrasi, yaitu kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Budaya politik yang sesuai, selaras, dan sebangun dengan system.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

20 sifat wajib dan mustahil bagi allah

Struktur Pasar

Jeneng Penggawean ing jawa