HUKUMAN BAGI ORANG YANG SENGAJA TIDAK BERPUASA
1. Hukuman di Akhirat:
Dari Abu Umamah Al-Bahiliy Radhiallohu ‘anhu berkata, saya mendengar Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallambersabda,
“Ketika saya sedang tidur, dua orang laki-laki medatangiku dan memegang kedua lenganku, membawaku ke sebuah gunung yang tidak rata, kemudian keduanya berkata, “naiklah”, saya katakana. “aku tidak mampu”, keduanya berkata, kami akan memudahkanmu”. Kemudian saya naik sehingga dikala hingga dipuncak gunung tiba-tiba terdengar bunyi yang keras. Aku bertanya, “suara apa ini?”, mereka berkata, “ini ialah teriakan penduduk neraka”. Kemudian keduanya membawaku, dikala itu saya mendapati orang-orang digantung dengan kaki diatas, rahang-rahang mereka robek dan mengalir darah darinya. Aku bertanya, “siapa mereka?”, keduanya menjawab, “mereka ialah orang-orang yang berbuka sebelum halal puasa mereka.” [HR. An-Nasa’I dalam Sunan Al-Kubra,Tuhfatul Asyraf 4/166, Ibnu Hibban no. 1800 dan Al-Hakim I/430, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullahu di dalam Shahihut Targhib wat Tarhib]
2. Hukuman di Dunia:
Jika ia tidak puasa alasannya ialah menyakini tidak wajibnya maka hukumannya ia bisa terancam kekafiran alasannya ialah puasa merupakan rukun islam. Kemudian ia wajib melanjutkan puasa/ tidak makan-minum hingga magrib meskipun sudah makan sebelumnya dan wajib bertaubat. Mengenai apakah ia wajib mengqhodho’ puasa apa tidak maka ada perbedaan pendapat ulama
- Wajib mengqhodo’
Al-Quffâl berkata, “…Dan barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadhan selain alasannya ialah jima’ tanpa ‘udzur, maka wajib baginya mengqhodo’ dan menahan diri dari sisa harinya. Dalam hal ini, ia tidak membayar kaffarat (tebusan) namun ia dita’zir oleh penguasa (diberi sanksi yang pas menurut mashlahat yang dipandangnya). Ini ialah pendapat Imam Ahmad dan Daud azh-Zhahiriy…” (Hilyah al-Awliyâ`:III/198)
- Tidak mengqhodo’
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallohu ‘anhu, ia berkata, “Barangsiapa yang berbuka (tidak berpuasa) sehari di bulan Ramadhan tanpa adanya alasan (‘udzur), kemudian mengqhodo’ sepanjang zaman, maka tidak diterima” (Fathul Bâriy, IV/161, As-Syamilah)
Pendapat terkuat wallohu a’lam adalah tidak mengqhodo’, alasannya ialah kalau untuk mengqodo’ perlu ada dalil yang menyampaikan bahwa itu perlu diqhodo’. Karena [الأصل في العبادة الحرام] hukum asal ibadah ialah terlarang, qhodo’ termasuk ibadah dan hukum asalnya terlarang hingga ada dalil yang membolehkannya.
Komentar
Posting Komentar