PESAN MORAL LUQMAN AL-HAKIM DAN KORELASINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM
Dalam artikel ini kami akan membahas tentang PESAN MORAL LUQMAN AL-HAKIM DAN KORELASINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM, dengan presentasi proposal, jadi jikalau anda memerlukan makalah ihwal luqman, silahkan kopi dan atau unduh artikel ini
A. PENDAHULUAN
Pendidikan anak sudah sepatutnya dilakukan oleh orangtua sedini dan sebaik mungkin. Hal ini karena hanya dengan pendidikan yang oke orang bau tanah dapat membimbing anaknya untuk menjadi seorang anak yang shaleh sehingga terhindar dari perbuatan-perbuatan buruk yang dapat menjerumuskan mereka kedalam api neraka. Dalam hal ini Tuhan swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
”Wahai orang-orang yang beriman peliharalah diri-diri kau dan keluarga kau dari api neraka yang materi bakarnya ialah insan dan kerikil (QS. At-Tahrim : 6)
Rasulullah saw juga pernah bersabda bahwa anak ialah tanggung jawab penuh orang bau tanah sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim melalui Ibnu Umar:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِىَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ».[1]
Oleh karena itu, gagasan ihwal pendidik dan pendidikan anak merupakan sebuah hal yang patut dibicarakan. Dalam goresan pena ini akan diangkat ihwal sosok orang bau tanah sekaligus pendidik yang diabadikan Al-Qur’an yakni Luqman al-Hakim. Tulisan ini diharapkan dapat mengangkat isyarat-isyarat dan pesan-pesan moral Luqmanul al-Hakim yang dapat diaplikasikan dalam pendidikan anak.
B. KARAKTERISTIK SURAH LUQMAN DAN SEBAB TURUNNYA AYAT
Menurut Ibnu Abbas Surah Luqman termasuk surah Makkiyah. Sedangkan Atha’ dan Qatadah menyebutkan bahwa surah Luqman termasuk kelompok surah Makkiyah, kecuali ayat 27-28, keduanya Madaniyyah.[2] Dinamakan surah Luqman karena dalam surah ini terdapat kisah Luqman. Surah ini mengandung ihwal keutamaan hikmah, diam-diam pengenalan kepada Tuhan dan sifat-sifat-Nya, celaan terhadap syirik, perintah dengan susila dan perbuatan yang terpuji dan larangan terhadap susila dan perbuatan yang tercela. Kandungan tersebut termasuk tujuan-tujuan Al-Qur’an yang terpenting.[3]
Terdapat perselisihan pendapat di antara ulama ihwal kedudukan Luqman, apakah ia seorang Nabi ataukah hanya hamba Tuhan yang shalih yang diberi kelebihan hikmah. Ibnu Katsir mengatakan dominan ulama salaf berpendapat bahwa Luqman bukan seorang Nabi. Ibnu Katsir juga menyebutkan satu riwayat yang disandarkan kepada ’Ikrimah yang mengatakan bahwa Luqman ialah Nabi, akan tetapi menurut Ibnu Katsir perawinya ada yang dinilai lemah (dhaif).[4] Dikatakan bahwa nama lengkapnya ialah Luqman bin Ba’ura. Sedangkan Abdurrahman as-Suhaili berpendapat bahwa ayahnya berjulukan ’Unaqa’ bin Sarun. Menurut Wahab ia salah seorang putra dari saudari Nabi Ayyub. sedangkan kata Muqatil ia ialah anak dari bibi Nabi Ayyub dari pihak ibu. Luqman ialah seorang hakim bani Israil yang diperkirakan hidup pada masa Nabi Daud dengan julukan Al-hakim (yang bijak).[5] Mengenai dirinya Abu ad-Darda menggambarkan bahwa Luqman ialah sosok yang tidak banyak bicara, banyak berpikir, memiliki pandangan yang dalam, tidak tidur disiang hari, tidak suka mengulang-ulang perkataan kecuali perkataan yang mengandung pesan tersirat itu pun apabila seseorang meminta kepadanya untuk diulang, ia sering mendatangi para hukama untuk bertukar pendapat dan pikiran serta untuk mendapatkan i’tibar.[6]
Mengenai latar belakang (asbab an-nuzul) turunnya Surah ini, Al-Alusi menandakan bahwa ada seorang Quraisy datang kepada Rasulullah, yang meminta semoga dijelaskan kepadanya berkaitan dengan kisah Luqman al-Hakim dan anaknya serta ihwal kebaktiannya kepada orangtua. Rasulullah pun membacakan Surah Luqman.[7] Sebagai Surah yang nota bene merupakan surah Makkiyah surah ini memiliki karakteristik Makkiyah yakni pedoman ihwal tauhid, iman kepada para Nabi dan hari kiamat. Surah ini juga menjelaskan karakteristik insan bandel karena memang turun kepada orang-orang Mekah yang keras perlawanannya terhadap Islam. Selain itu, ditinjau dari aspek pendidikan, surah ini mengangkat dongeng ihwal Luqman sebagai sosok orang bau tanah bijak dalam mendidik anaknya.
C. PERAN ORANG TUA DALAM PENDIDIKAN ANAK
Lukman ialah seorang hamba yang shaleh yang dikarunia al-Hikmah. Hikmah menurut Ibnu Abbas ialah akal, pemahaman dan kecerdasan. Senada dengan itu, mujahid mengartikan pesan tersirat dengan akal, pemahaman dan kesesuaian antara perkataan dan tindakan. Sedangkan menurut Ar-Raghib, pesan tersirat ialah pengetahuan segala yang ada dan pengetahuan ihwal perbuatan baik. Masih menurutnya, pesan tersirat ialah kesesuaian ihwal ilmu dan amal. Lain lagi dengan Abu Hayyan, ia menafsirkan pesan tersirat dengan manthiq yang dengannya seseorang dapat menunjukkan nasehat dan peringatan sehingga orang-orang datang kepadanya untuk meminta nasehat-nasehatnya.[8] Dari sini jelaslah, bahwa Luqman ialah seorang bijak yang dianugerahkan kecerdasan dan pemahaman ihwal kebaikan serta sosok teladan yang memiliki kesesuaian antara ilmu dan amal maupun perkataan dan tindakan.
Kisah Luqman merupakan potret orang bau tanah dalam mendidik anaknya dengan pedoman keimanan dan susila mulia. Dengan pendekatan persuasif, Luqman dianggap sebagai profil pendidik bijaksana, sehingga Tuhan mengabadikannya dalam Al-Qur’an dengan tujuan semoga menjadi ibrah bagi para pembacanya. Setidaknya ada empat pesan moral yang dapat diambil dari kisah Luqman ini yang dapat dijadikan sebagai dasar dan teladan dalam mendidik anak. Keempat pesan moral itu ialah menanamkan aqidah pada anak, mengajarkannya bersyukur dan berbakti kepada Tuhan dan orang tua, membiasakannya berinfak shaleh semenjak usia dini, dan mengajarkannya susila mulia dan etika berinteraksi dengan sesama.
1. MENANAMKAN AQIDAH PADA ANAK
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لاِبْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya pada waktu ia memberi pelajaran kepadanya, “Anakku sayang, janganlah kau mempersekutukan Allah, karena bahu-membahu mempersekutukan Tuhan ialah benar-benar kezaliman yang besar.” (Q.S. Luqman: 13)
Redaksi ayat di atas berbicara ihwal nasihat Luqman kepada putranya yang dimulai dari peringatan terhadap perbuatan syirik. Kata ya’izhu terambil dari kata wa’zh yaitu nasihat menyangkut aneka macam kebajikan dengan cara yang menyentuh hati. Ada juga yang mengartikannya sebagai ucapan yang mengandung peringatan dan ancaman. Penggunaan kata ini, menunjukkan gambaran ihwal bagaimana perkataan atau nasihat itu dia sampaikan, yakni tidak membentak, tetapi penuh kasih sayang sebagaimana dipahami dari panggilan mesranya kepada anak.[9] Kata ini juga mengisyaratkan bahwa nasehat itu dilakukannya dari ketika kesaat, sebagaimana dipahami dari redaksi kata kerja ya’izhu yang mengambil bentuk fi’il mudhari’ yang menunjukkan makna rutinitas (li ad-dawam).
Kata bunayya (anakku) dalam bentuk tasghir (pemungilan) dari kata ibny, mengisyaratkan sebutan atau ungkapan kasih sayang. Makara bunayya disini dapat diterjemahkan dengan ungkapan ”anakku sayang”. Dari sini dapat disimpulkan bahwa ayat diatas memberi arahan bahwa mendidik hendaknya didasari oleh rasa kasih sayang terhadap akseptor didik begitupun pendidik hendaknya senantiasa menunjukkan nasihat yang baik setiap saat.
Lukman memulai nasehatnya dengan menekankan perlunya menghindari syirik/mempersekutukan Allah. Isyarat ini terlihat ketika Luqman menggambarkan syirik sebagai ”kezaholiman yang besar”. Isyarat ini dapat dipahami dari penyebutan kata (zhulmun azhim) yang dirangkai dengan lam at-tawkid. Kesan lain yang dapat diambil dari penggunaan redaksi pesan yang menggunakan fi’il nahi (bentuk larangan), yakni ”janganlah kau mempersekutukan Allah” menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu yang buruk lebih layak didahulukan sebelum melaksanakan yang baik.
Menurut M. Ali ash-Shabuni, perbuatan syirik merupakan sesuatu yang buruk dan tindak kezhaliman yang nyata. Karena itu, siapa saja yang menyerupakan antara Khalik dengan makhluk, tanpa ragu-ragu, orang tersebut bisa dipastikan masuk ke dalam golongan insan yang paling bodoh. Sebab, perbuatan syirik menjauhkan seseorang dari penalaran dan pesan tersirat sehingga pantas digolongkan ke dalam sifat zalim; bahkan pantas disetarakan dengan binatang.[10] Dengan demikian menghindarkan anak dari syirik dengan menunjukkan pemahaman kepada mereka ihwal syirik pada hakikatnya ialah menjauhkan mereka terjatuh dalam kezaliman dan kebodohan yang terbesar.
Larangan syirik pada dasarnya merupakan pengajaran ihwal tauhid. Perlunya tauhid diajarkan pada anak sedini mungkin ialah semoga ia tumbuh dengan kejernihan pikiran dan kekuatan iman sesuai dengan fithrah yang Tuhan berikan padanya semenjak lahir. Jadi, pendidikan tauhid usia dini pada hakikatnya ialah melanjutkan dan menggiring fithrah anak yang terlahir dalam keadaan suci kepada agama yang hanif. Disinilah letak peranan orang bau tanah sebagai pendidik pertama bagi anaknya setelah ia lahir kedunia. Kelalaian orang bau tanah dalam fase ini dengan membiarkan mereka lebih dahulu mendapatkan seruan syaithan ketimbang tauhid merupakan kesalahan fatal. Karena itu Rasulullah mengingatkan:
كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه[11]
Oleh karena itu, Nabi saw menekankan pentingnya pendidikan Aqidah pada usia dini bahkan pada ketika detik-detik kelahirannya ke dunia meskipun hal tersebut terkesan sederhana. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari Ibnu Abbas r.a.
عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : افتحوا على صبيانكم أول كلمة بلا إله إلا الله و لقنوهم عند الموت لا إله إلا الله[12] (رواه الحاكم عن ابن عباس)
Bacakanlah kalimat pertama kepada belum dewasa kalian kalimat Lâ ilâha illâ Allâh dan talqinlah mereka ketika menjelang mati dengan Lâ ilâha illâ Allâh. (HR al-Hakim).
Berdasarkan hadis di atas, kalimat tauhid (Lâ ilâha illâ Allâh) hendaknya merupakan sesuatu yang pertama masuk ke dalam pendengaran anak dan kalimat pertama yang dipahami anak. Hal ini seiring pula dengan tawaran azan di pendengaran kanan anak dan iqamah di pendengaran kirinya sesaat setelah kelahirannya di dunia ini.
عن ابن عباس : أن النبي صلى الله عليه و سلم : أذن في أذن الحسن بن علي يوم ولد فأذن في أذنه اليمنى وأقام في أذنه اليسرى [13]
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah, diam-diam dianjurkannya mengumandangkan adzan kepada bayi yang gres lahir ialah supaya ucapan yang pertama kali didengar oleh seseorang insan ialah kalimat-kalimat adzan. Kalimat-kalimat tersebut meliputi kebesaran dan keagungan Allah. Didalamnya terdapat kalimat syahadat (persaksian) yang merupakan ikrar pertama bagi seseorang yang masuk Islam. Tidak diragukan bahwa dampak dari kalimat-kalimat adzan tersebut akan hingga padanya dan membekas di hatinya, mekipun ketika itu ia tidak merasakannya. Hikmah lainnya, masih menurutnya, yaitu semoga usul untuk beribadah kepada Tuhan dan berikrar untuk memeluk Islam lebih dulu diterima oleh seorang anak dari usul dan bujuk rayu setan sebagaimana halnya fitrah (agama) Tuhan lebih dulu diterima oleh seorang anak dari usul dan bujuk rayu setan dan sebagaimana halnya fithrah Tuhan lebih dulu mewatak pada diri seorang anak dari usaha setan untuk merubahnya.[14]
Salah satu usaha semoga anak terhindar dari gangguan syaithan ialah dengan doa. Imam Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadis ihwal doa Nabi saw untuk Hasan dan Husein semoga mereka dilindungi Tuhan SWT dari syaithan. Doa itu ialah doa Nabi Ibrahim buat kedua putranya Ismail dan Ishaq.
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : كان النبي صلى الله عليه وسلم يعوذ الحسن والحسين ويقول ( إن أباكما كان يعوذ بها إسماعيل وإسحاق أعوذ بكلمات الله التامة من كل شيطان وهامة ومن كل عين لامة)[15]
Selanjutnya, upaya menanamkan kalimat tauhid dapat ditempuh dengan aneka macam cara dan media. Di antaranya mendengar, mengucapkan, dan menghapalkan kalimat-kalimat tauhid, ayat-ayat al-Quran, serta al-Hadis yang terkait dengannya; kemudian memahamkan maknanya serta menjelaskan aneka macam jenis perbuatan syirik yang pernah dilakukan manusia, khususnya yang terjadi ketika ini; selanjutnya menceritakan aneka macam azab yang ditimpakan Tuhan kepada umat-umat terdahulu akhir perbuatan syirik mereka.
Adapun mengenai metode pendidikan Aqidah, Imam Al-Ghazali berpandangan bahwa pendidikan iktikad bagi anak harus dilakukan step by step. Upaya menanamkan Aqidah kepada anak pada masa pertumbuhannya sepatutnya diawali dengan menghafal. Kemudian seiring dengan kedewasaannya pemahaman ihwal Aqidah akan tersingkap dengan sendirinya sedikit demi sedikit. Setelah menghafal akan muncul pemahaman yang diiringi oleh i’tikad, keyakinan, dan pembenaran. Semua itu akan terwujud dengan sendirinya dalam diri anak tanpa memerlukan dalil-dalil filosofis.
اعلم أن ما ذكرناه في ترجمة العقيدة ينبغي أن يقدم إلى الصبي في أول نشوه ليحفظه حفظا ثم لا يزال ينكشف له معناه في كبره شيئا فشيئا فابتداؤه الحفظ ثم الفهم ثم الاعتقاد والإيقان والتصديق به وذلك مما يحصل في الصبي بغير برهان[16]
Al-Ghazali juga mengakui bahwa metode talqin yang meniscayakan taklid dalam iktikad anak atau pun orang awam masih memiliki kelemahan dan rentan mendapatkan hal-hal yang dapat merusaknya jikalau dilontarkan kepadanya pemahaman-pemahaman iktikad yang keliru. Untuk memperkuat iktikad anak ataupun orang awam, al-Ghazali tidak setuju digunakannya metode kalam dan jadal (debat) karena metode ini justru dapat menggoncangkan keyakinannya dan menambah keraguannya. Oleh karena itu, menurutnya, metode yang sempurna untuk memperkuat dan memantapkan iktikad mereka ialah menyibukkan mereka dengan membaca al-Qur’an dan mengkaji tafsirnya serta membaca hadis dan mendalami maknanya. Akidah mereka akan senantiasa bertambah mantap dengan alasannya ialah mendengar dalil-dalil maupun hujjah Al-Qur’an begitu pula dengan bukti-bukti dan pesan-pesan yang disampaikan hadits. Selain itu, anak juga harus digemarkan melaksanakan praktek-praktek ibadah dan bergaul dengan orang-orang shaleh sehingga mereka dapat meneladani sikap tanduk dan susila mereka yang mulia.
يكون الاعتقاد الحاصل بمجرد التقليد غير خال عن نوع من الضعف في الابتداء على معنى أنه يقبل الإزالة بنقيضه لو ألقى إليه فلا بد من تقويته وإثباته في نفس الصبي والعامي حتى يترسخ ولا يتزلزل. وليس الطريق في تقويته وإثباته أن يعلم صنعة الجدل والكلام بل يشتغل بتلاوة القرآن وتفسيره وقراءة الحديث ومعانيه ويشتغل بوظائف العبادات فلا يزال اعتقاده يزداد رسوخا بما يقرع سمعه من أدلة القرآن وحججه وبما يرد عليه من شواهد الأحاديث وفوائدها وبما يسطع عليه من أنوار العبادات ووظائفها وبما يسرى إليه من مشاهدة الصالحين ومجالستهم وسيماهم وسماعهم وهيآتهم في الخضوع لله عز و جل والخوف منه والاستكانة له فيكون أول التلقين كإلقاء بذر في الصدر وتكون هذه الأسباب كالسقى والتربية له حتى ينمو ذلك البذر يقوى ويرتفع شجرة طيبة راسخة أصلها ثابت وفرعها في السماء.[17]
Penggunaan cara dan media berguru hendaknya diubahsuaikan dengan usia dan perkembangan anak. Pendidiknya hendaknya lebih arif dalam memilih cara yang memudahkan anak untuk mengingat dan memahami pelajaran yang hendak diberikan serta memilih media yang disukai belum dewasa semoga mereka tidak merasa terpaksa mendapatkan suatu pengajaran yang diberikan. Dengan begitu, pembelajaran iktikad tauhid ini berjalan dengan lancar dan anak tidak merasa dibebani sesuatu. Contohnya ialah dengan cara memperdengarkan nyanyian yang di dalamnya terkandung pemahaman tauhid, membacakan ayat-ayat al-Quran maupun Hadis Nabi saw. yang menjelaskan pemahaman tauhid, serta mengajak anak untuk sama-sama melafalkannya bila anak sudah bisa berbicara. Oleh karena itu, menanamkan tauhid kepada anak tidak harus dalam suasana belajar, bisa dilakukan kapan saja; pada ketika anak bermain, makan, ataupun ketika menidurkannya. Dengan demikian, para orangtua sangat dibutuhkan perannya untuk menanamkan pemahaman tauhid ini di sepanjang hari-hari dan acara anak.
2. MENGAJARKAN ANAK BERSYUKUR DAN BERBAKTI KEPADA ALLAH DAN ORANG TUA
وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ. وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Kami memerintahkan kepada insan untuk berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada ibu-bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu. Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu ihwal itu, janganlah kau mengikuti keduanya; pergaulilah keduanya di dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kau kerjakan.” (QS Luqman [31]: 14-15).
Tuhan memerintahkan kepada insan semoga berbuat baik kepada kedua orang tuanya sebagai wujud rasa syukur atas pengorbanan keduanya dalam memelihara dan mengasuh si anak semenjak dalam kandungan. Demikian pula pengorbanan ketika menyusui si anak selama dua tahun, terutama sang ibu. Karena itu, sekalipun kedua orangtuanya kafir, seorang anak tetap harus berbuat baik kepada keduanya. Hanya saja, seorang anak tidak boleh menaati keduanya dalam hal-hal yang melanggar perintah Allah, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah.
Ayat diatas tidak menyebut jasa bapak, tetapi menekankan pada jasa ibu. Ini disebabkan karena ibu berpotensi untuk tidak dihiraukan oleh anak karena kelemahan ibu, berbeda dengan bapak. Disisi lain, peranan bapak dalam konteks kelahiran anak, lebih ringan dibanding dengan peranan ibu[18]. Begitupun soal pendidikan anak, ibu memiliki peranan penting karena waktu yang diberikan ibu kepada anaknya kadang lebih besar daripada bapaknya. Oleh karena itu ialah wajar kalau ibu didahulukan.
Al-Manawi menunjukkan definisi birr al-Walidain sebagai berikut
وبر الوالد التوسع في الإحسان إليه وتحري محابه وتوقي مكارهه والرفق به[19]
”Birrul Walid (berbakti kepada orang tua), yaitu memperluas kebaikan kepada orang tua, memperhatiakan yang disukai orang tua, menghindari yang dibenci orang bau tanah dan berlaku lembut atau sopan dengan orang tua”
Bakti anak kepada orang bau tanah menurut Al-Qur’an ialah sebuah hak orang bau tanah kepada anaknya karena mereka sebagai wakil Tuhan diamanahi mengemban tugas-tugas pemeliharaannya (tarbiyyah) dari mulai lahir hingga dewasa. Oleh karena itu Tuhan mengajari setiap muslim untuk berterima kasih kepada orangtuanya dengan mengajarkan kepada mereka untuk selalu berbuat baik kepada mereka, tidak berkata-kata garang dan selalu mendoakan mereka lantaran jasa-jasa mereka yang besar yang telah bersusah payah menghantarkan mereka menuju kedewasaan.
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا .وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (الإسراء : 23-24)
Kesan lain yang dapat ditangkap dari ayat diatas (QS Luqman [31]: 14-15) bahwa dalam materi pendidikan ihwal kebaktian kepada orang bau tanah harus disuguhkan kebenarannya dengan argumentasi yang dapat dibuktikan oleh insan melalu penalarannya dan pengalamannya ihwal realitas. Sedangkan kalau dipahami munasabah dari larangan mempersekutukan Tuhan yang disandingkan dengan bersyukur dengan orang bau tanah melalui kebaktian kepada mereka akan terlihat bagaimana Tuhan menunjukkan pengajaran kepada insan bahwa beriman kepada-Nya ialah hal yang sudah semestinya dilakukan oleh insan sebagai tanda syukur kepada-Nya atas limpahan karunia-Nya yang banyak sebagaimana ia juga layak berbakti kepada orang bau tanah mereka lantaran jasa-jasa orang bau tanah yang besar.
Rasa syukur kepada Tuhan harus didahulukan dari rasa syukur kepada manusia, termasuk kepada kedua orangtua. Artinya, sekalipun orangtua sangat berjasa dalam memelihara dan mengasuh kita semenjak dalam kandungan, rasa syukur kepada mereka tidak boleh mendahului rasa syukur kepada Allah. Sebab, kawasan kembali semua makhluk hanyalah kepada Allah.
Upaya menancapkan rasa syukur kepada Tuhan bisa dilakukan dengan mengajak anak mengamati dan memikirkan karunia Tuhan yang diperoleh si anak, keluarganya, serta lingkungan sekitarnya. Di mulai dari hal yang paling sederhana dan mudah diamati hingga hal-hal yang membutuhkan pengamatan cermat.
3. MENDIDIK DAN MELATIH ANAK BERAMAL SHALEH
يَابُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَوَاتِ أَوْ فِي الأِرْضِ يَأْتِ بِهَا اللهُ إِنَّ اللهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ. يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُوْرِ
Luqman berkata, “Anakku, bahu-membahu jikalau ada suatu perbuatan seberat biji sawi dan berada dalam kerikil atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Tuhan akan mendatangkannya (balasannya). Sesungguhnya Tuhan Maha halus lagi Mahatahu. Anakku, dirikanlah shalat, suruhlah insan mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan yang mungkar, serta bersabarlah atas apa saja yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah. (QS Luqman [31]: 16-17).
Ayat diatas merupakan lanjutan wasiat Luqman kepada anaknya. Pesannya kali ini ialah ihwal kedalaman ilmu Tuhan SWT. yang luar biasa. Luqman menunjukkan pelajaran kepada Anaknya bahwa Tuhan mengetahui perbuatan baik atau buruk walau seberat biji sawi, dan berada pada kawasan yang paling tersembunyi, misalnya dalam kerikil karang sekecil, sesempit dan sekokoh apapun kerikil itu, atau dilangit yang demikian luas dan tinggi, atau di dalam perut bumi yang sedemikian dalam di mana pun keberadaannya, niscaya Tuhan akan mendatangkannya lalu memperhitungkan dan memberinya balasan.[20]
Selanjutnya dapat dipahami, dari munasabah ayat ini dengan ayat lalu yang berbicara ihwal keesaan Tuhan dan larangan mempersekutukan-Nya, maka ayat ini (QS Luqman [31]: 16) menggambarkan Kuasa Tuhan melaksanakan perhitungan atas amal-amal perbuatan insan diakhirat nanti. Dengan demikian, ada dua tema iktikad yang diangkat melalui ayat ini dan sebelumnya yaitu ihwal keesaan Tuhan dan keniscayaan hari Kiamat. Dua prinsip ini termasuk dari rukun Iman yang mendasari Aqidah Islam.
Kesan lain yang dapat diambil dari ayat diatas ialah bahwa Luqman berupaya untuk membuka kesadaran dan keyakinan anaknya bahwa Tuhan selalu mengawasinya dan amal perbuatannya. Jika seseorang telah merasa akrab dengan Tuhan dan sadar akan pengawasan-Nya yang tidak pernah putus maka hal itu akan dapat menjauhkannya dari perbuatan yang buruk dan selalu mendorongnya berupaya melaksanakan amal shaleh. Hal ini seiring dengan hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam at-Thabrani:
أَفْضَلُ الإِيْمَانِ أَنْ تَعْلَمَ أَنَّ اللهَ مَعَكَ حَيْثُ مَا كُنْتَ (رواه الطبراني)
“Iman yang paling utama ialah engkau yakin bahwa Tuhan menyertai kau di mana pun kau berada” (H.R. At-Thabrani)
Setelah kekuatan iktikad tertanam dalam jiwa anak, maka kekuatan tersebut merupakan pondasi yang berpengaruh dan landasan utama bagi anak untuk mendapatkan pengajaran pendidik menaati semua perintah Tuhan berupa taklif hukum yang harus dijalankan sebagai konsekuensi keimanan. Oleh karena itu, perlu motivasi yang kuat, ketekunan yang sungguh-sungguh, serta kreativitas yang tinggi dari para orangtua terhadap upaya penanaman iktikad yang berpengaruh kepada anak sebagaimana dicontohkan oleh Luqman. Selain itu, orang bau tanah juga jangan hingga melupakan berharap dan berdoa kepada Tuhan semoga anaknya menjadi orang yang taat.
Tuhan menunjukkan gelar “’Ibâdurrahmân” kepada hamba-hamba-Nya yang mana diantara salah satu ciri-cirinya ialah mereka yang selalu berkomitmen dan berdoa semoga dianugerahkan istri dan anak yang menyejukkan mata.
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا (الفرقان :74)
Imam al-Hasan ketika ditanya ihwal maksud قُرَّةَ أَعْيُنٍ pada ayat ini dia menjawab dengan mengatakan “orang mukmin yang melihat istri dan anaknya taat kepada Allah”.
حدثنا أحمد بن المقدام حدثنا حزم قال سمعت كثيرا يسأل الحسن قال يا أبا سعيد قول الله عز و جل ( هب لنا من أزواجنا وذرياتنا قرة أعين ) أفي الدنيا أم في الآخرة؟ , قال لا بل في الدنيا , قال وما ذاك ؟, قال المؤمن يرى زوجته وولده مطيعين الله عز و جل, قال وأي شيء أقر لعين المؤمن من أن يرى زوجته وولده يطيعون الله عز و جل ذكره[21]
Kalau setiap orang mukmin ingin melihat anak dan istrinya taat kepada Allah, maka sudah sepatutnya baginya menunjukkan pengajaran yang baik kepada mereka mengenai amal-amal shaleh yang mesti dilakukan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah. Pada ayat (QS Luqman [31]: 17) diatas, setelah menunjukkan bimbingan ihwal Akidah, Luqman melanjutkan nasihat kepada anaknya menyangkut amal-amal shaleh yang puncaknya ialah shalat, serta amal-amal kebajikan yang tercermin dalam amr ma’ruf dan nahi munkar, juga nasihat berupa perisai yang membentengi seseorang dari kegagalan yaitu sabar dan sabar karena semua itu merupakan hal-hal yang telah diwajibkan oleh Tuhan untuk dibulatkan atasnya tekad manusia.[22] Tidak disebutkan amal shaleh lain bukan berarti bahwa pengajaran terhadap anak hanya dibatasi dengan ini bahkan kewajiban-kewajiban yang bisa dilaksanakan oleh anak menyerupai shaum, menutup aurat, dan lain-lain juga perlu diajarkan semenjak dini.
Kewajiban pertama yang diajarkan dan diperintahkan kepada anak ialah kewajiban shalat, karena shalat merupakan tiang agama dan amal pertama yang akan dihisab pada Hari Kiamat nanti. Pada usia 7 tahun anak sudah harus diperintahkan menjalankan ibadah shalat, bahkan kalau hingga usia 10 tahun anak masih meninggalkan shalat, diperintahkan kepada orangtua untuk memukulnya. Imam Ahmad menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا أَبْنَاءَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ[23]
”Ajarilah anak kalian shalat pada usia tujuh tahun dan pukullah dia (jika tidak mau melaksanakannya) jikalau melewati usia sepuluh tahun dan pisahkanlah mereka pada kawasan tidur.” (HR Ahmad).
Berdasarkan hadis di atas, dapat digali pemahaman bahwa anak sudah seharusnya dilatih menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang Muslim semenjak usia 7 tahun. Anak diberi sanksi bila meninggalkan kewajiban-kewajibannya pada ketika usianya sudah mencapai 10 tahun. Hal ini berarti masa penyesuaian anak melaksanakan kewajiban-kewajibannya, selama 3 tahun, semenjak usia tujuh tahun hingga 10 tahun. Sedangkan usia 10 tahun hingga menjelang balig bisa dikatakan masa pemantapan, karena si anak tidak boleh lagi meninggalkan kewajiban-kewajibannya. Dengan demikian, seorang anak sudah dipersiapkan semenjak awal semoga pada usia balig siap menjalankan semua taklif yang dibebankan Tuhan kepadanya.
ٍSedangkan perintah Luqman kepada anaknya untuk ber-amar ma’ruf dan nahi munkar mengisyaratkan bahwa tentulah Luqman sebelumnya telah mengajarkan kepada anaknya perbuatan-perbuatan yang ma’ruf dan menggambarkan menyerupai apa perbuatan yang munkar. Karena bagaimana ia memerintahkan anaknya tanpa ada pengetahuan ihwal itu sebelumnya. Ma’ruf ialah segala perbuatan yang dipandang baik oleh norma-norma masyarakat dan nilai-nilai agama sedangkan munkar sebaliknya.
Adapun perintah sabar mengisyaratkan semoga dalam melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar setiap orang harus memiliki kesabaran, ketabahan dan kesepakatan yang tinggi karena tentu saja hal tersebut tidak bebas dari rintangan, halangan dan ujian.
4. MENGAJARKAN KEPADA ANAK AKHLAK MULIA DAN SOPAN SANTUN DALAM BERINTERAKSI DENGAN SESAMA.
وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلاَ تَمْشِ فِي اْلأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ. وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ اْلأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
”Janganlah kau memalingkan mukamu dari insan (karena sombong) dan janganlah kau berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Tuhan tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Sederhanalah kau dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk bunyi ialah bunyi keledai”. (QS Luqman [31]: 18-19).
Pembelajaran selanjutnya yang ditanamkan oleh Luqman kepada anaknya ialah susila mulia, yakni sifat-sifat mulia yang harus menghiasi kepribadian anak. Ayat ini mengisyaratkan bahwa pendidikan iktikad dan susila merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pendidikan susila anak merupakan kewajiban orang bau tanah bagi anaknya dan merupakan pertolongan paling utama orangtua kepada anaknya sebagaimana sabda Nabi saw.
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : "أكرموا أولادكم وأحسنوا أدبهم "(رواه ابن ماجه عن أنس بن مالك ([24]
Muliakanlah belum dewasa kau dan baguskanlah akhlaknya. (H.R. Ibnu Majah)
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا نَحَلَ وَالِدٌ وَلَدَهُ أَفْضَلَ مِنْ أَدَبٍ حَسَنٍ (رواه أحمد)
”Tidak ada yang diberikan orang bau tanah kepada anaknya yang lebih utama dari budi pekerti yang baik.”
Budi pekerti yang harus diajarkan pertama kali kepada anak ialah budi pekerti sehari-hari yang dengannya ia berinteraksi dengan orangtua, keluarga dan orang lain. Luqman mengawali pelajaran susila kepada anaknya semoga tidak berlaku sombong terhadap sesama manusia, tidak bersikap angkuh, sederhana dalam berjalan, dan lunak dalam bersuara. Semua ini ditujukan semoga mereka memiliki kecerdasan berinteraksi dan berkomunikasi dengan baik. Etika berinteraksi ini sangat berfaedah bagi anak alasannya ialah diharapkan dan dipraktikkan setiap ketika sepanjang hayatnya.
Ibnu katsir ketika menjelaskan ayat ini mengatakan: ”Janganlah kau memalingkan mukamu dari insan ketika kau berbicara kepada mereka atau ketika mereka berbicara kepadamu karena itu merupakan sebuah penghinan dan salah satu bentuk kesombongan. Sudah seharusnya kita berkomunikasi menyerupai yang diajarkan Rasulullah, ketika berbicara menghadapkan seluruh tubuhnya, dan dengan wajah yang berseri-seri.[25]
Ada sebuah hadits Rasulullah yang dikutip Ibnu Katsir, dimana setiap muslim dianjurkan untuk bersedekah walaupun hanya dengan menjumpai saudaranya dengan wajah berseri-seri, dan tidak memakai pakaian yang terseret (isbalul ijar) karena itu bentuk ketakaburan yang tidak disukai Allah.
اتق الله ولا تحقرن من المعروف شيئا ولو ان تفرغ من دلوك في إناء المستسقي وأن تلقى أخاك ووجهك اليه منبسط وإياك واسبال الازرار فان اسبال الإزار من المخيلة
Menurut Ibnu Abbas yang dimaksud dengan La tusha’ir adalah: Janganlah kau bersifat takabur merendahkan hamba Tuhan dengan berpaling muka tidak mau berhadapan ketika mereka berbicara kepadamu.[26] Sebetulnya orang menampakan ketakaburan itu tujuannya semoga dirinya dihormati tapi dengan sikapnya menyerupai itu justru orang menjadi tidak simpati, kalau ingin dihormati kita harus memuliakan orang lain.
Pelajaran selanjutnya yang diajarkan Luqman kepada anaknya ialah etika berjalan yakni hendaknya ia jangan menyombongkan diri dan melangkah arogan ketika berjalan. Seseorang harus menyederhanakan jalannya jangan terlalu pelan begitu pun jangan terlalu cepat. Ibnu Asyur sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab memperoleh kesan bahwa bumi ialah kawasan berjalan semua orang, yang berpengaruh dan yang lemah, yang kaya dan yang miskin, penguasa dan rakyat jelata. Mereka semua sama sehingga tidak wajar bagi pejalan yang sama, menyombongkan diri dan merasa melebihi orang lain.[27]Padahal ia juga akan kembali ketempat yang sama yakni tanah.
Pelajaran penting lain yang juga ditekankan oleh Luqman ialah etika berbicara, menurut Luqman salah satu diantara budpekerti berbicara yang baik ialah melunakkan bunyi ketika berbicara kepada orang lain. Menurut Ibnu Katsir, maksud perintah ughdhudh min shautika pada QS Luqman [31]: 19 tersebut ialah perintah semoga jangan melampaui batas dalam berbicara dan tidak mengangkat suara/ berteriak yang tidak ada faidahnya layaknya bunyi keledai. Dalam hal ini Mujahid berpendapat, menyerupai dilansir Ibnu Katsir, bunyi keledai ialah bunyi yang paling buruk oleh karenanya tidak patut seseorang mengangkat suaranya menyerupai bunyi keledai. Penyerupaan ini dengan bunyi keledai menurut Ibnu Kasir menunjukkan keharamannya.[28]
Disisi lain, khususnya bagi para orang tua, ada satu hal yang sangat penting didapatkan si anak dalam proses pembelajarannya menjalankan aneka macam kewajiban serta menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang mulia, yakni keteladanan dari para orangtua maupun pendidik. Inilah yang ketika ini jarang dan sulit didapatkan si anak. Bahkan, tidak jarang si anak melihat sesuatu yang bertentangan dengan pemahaman yang sedang ditanamkan kepadanya dilakukan oleh orang-orang di sekelilingnya, termasuk orangtua maupun para pendidik. Padahal, sudah merupakan tabiat insan membutuhkan teladan, karena insan lebih mudah mendapatkan dan memahami apa yang dilihat dan dirasakannya daripada apa yang didengarnya. Karena itulah, kepada insan diturunkan seorang Rasul di setiap generasi dari kalangannya sendiri (manusia juga), untuk mengajarkan dan mencontohkan pelaksanaan ajaran-Nya.
Oleh karena itu, para orangtua hendaklah mempersiapkan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan si anak semoga proses pembelajarannya bisa berjalan efektif. Janganlah membiarkan lingkungan anak, khususnya lingkungan rumah, merobohkan bangunan kepribadian anak yang sedang dibangun, karena ini sangat berbahaya bagi perkembangan si anak untuk berproses menjadi anak yang shalih.
D. KESIMPULAN
Kisah Luqman merupakan potret orang bau tanah dalam mendidik anaknya dengan pedoman keimanan dan susila mulia. Dengan pendekatan persuasif, Luqman dianggap sebagai profil pendidik bijaksana, sehingga Tuhan mengabadikannya dalam Al-Qur’an dengan tujuan semoga menjadi ibrah bagi para pembacanya. Setidaknya ada empat pesan moral yang dapat diambil dari kisah Luqman ini yang dapat dijadikan sebagai dasar dan teladan dalam mendidik anak. Keempat pesan moral itu ialah menanamkan aqidah pada anak, mengajarkannya bersyukur dan berbakti kepada Tuhan dan orang tua, membiasakannya berinfak shaleh semenjak usia dini, dan mengajarkannya susila mulia dan etika berinteraksi dengan sesama. Makara pelajaran yang bisa diambil dari QS Luqman [31]: 13-19 di atas mencakup pelajaran bagi orangtua dalam mendidik anak-anaknya, dan pelajaran bagi anak untuk menjadi anak yang shaleh.
Mengenai materi pengajaran yang harus diajarkan kepada anak semenjak usia dini, setidaknya ada beberapa aspek yang harus di perhatikan orang bau tanah meliputi aspek akidah, bakti kepada orang tua, pendidikan ibadah dan akhlak. Adapun metode pendidikan iktikad khususnya anak dapat digunakan metode talqin dengan aneka macam bentuk variasinya. Sedangkan dalam menguatkan keimanan anak yang perlu ditanamkan ialah rasa syukur kepada Tuhan SWT sehingga anak mengerjakan ibadah tidak menganggapnya sebagai beban tetapi sebagai sesuatu yang memang sepatutnya ia kerjakan. Begitu pula mengenai pengajaran ihwal kebaktiannya kepada orang tua, yang perlu digambarkan kepada mereka ialah argumen dan kebenaran yang dapat mereka terima dan rasakan berdasarkan kemampuan pemahaman mereka dan pengalaman. Sejalan dengan pendidikan akhlak, orang bau tanah juga harus menunjukkan nasehat setiap ketika dengan pengajaran yang terang kongkrit dan dapat dipraktekkan.
demikian artikel makalah ihwal kisah pesan moral luqman kepada anaknya
Komentar
Posting Komentar